7 Mei 2015

JUAL BELI



JUAL BELI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Bahtsul Kutub
Dosen Pengampu : Moh. In’ami, M. Ag


images.jpg



Disusun Oleh :
M. Fatikhul Albab    (111636)
Fatmiyati                    (111647)
Suyitno                       (111657)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI 
2014

A.    PENDAHULUAN
            Muamalah ialah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan duniawi, dengan memandang kelanjutan hidup seseorang, seperti jual beli, tukar-menukar, pinjam-meminjam, beri memberi dan lain-lain.[1]
            Allah menjadikan manusia satu dengan yang lain sangat membutuhkan supaya mereka semua tolong menolong dalam hubungan bermasyarakat, agar menjadikan keseimbangan dalam kehidupan. Hal ini membuktikan bahwa Agama tidak hanya mengatur hubungan  manusia dan Allah saja, namun hubungan manusia dan manusia.
            Utuk menghindari kesewenang-wenangan dalam bermuamalah, agama memberi aturan supaya dalam menjalankan muamalah dapat berjalan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan dalam menjalankan muamalah.
             Dalam hal ini jual beli merupakan bagian dari salah satu muamalah. Di era yang serba modern ini, fiqih selalu berkembang menyesuaikan zaman, banyak perkembangan yang terjadi terutama dalam hal jual beli yang serba instan dan cepat (on-line). Dalam kasus ini menjadikan kelompok kami utuk mengajak saudara semua membahas masalah jual beli. Yakni dengan maksud supaya suatu saat dapat menjadikan manfaat dalam kehidupan kita semua.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari jual beli ?
2.      Bagaimanakah landasan hukum jual beli ?
3.      Mengapa jual beli ada yang dilarang ?




C.     PEMBAHASAN
a.   Pengertian Jual Beli, Rukun dan Syarat Jul Beli
1 . Pengertian Jual Beli        
            Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-Bai', al-Tijarah, atau al-Mubadalah. [2] Sebagaimana Allah SWT bewrfirman :
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُور
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)[3]
            Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.[4]
            Secara terminologi ialah sebagai berikut:
1.      Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.[5]
2.      Menukar barang dengan barang lain atau cara yang tertentu(akad).[6]
3.      Penukaran dengan benda lain dengan jalan salaing merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.[7]
            Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "Menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".

2. Rukun- Rukun dan Syarat Jual Beli[8]
1.      Akad yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab adalah penyerahan penjual kepada pembeli sedangkan kobul adalah penerimaan dari pihak pembeli. Akad sendiri berarti persetujuan antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab kobul dilakukan, hal ini karena ijab dan kobul merupakan kerelaan dari kedua belah pihak. Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku terima".[9]
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz. Masalah
2.       Orang yang  berakad ( penjual dan pembeli )
 Bagi orang yang berakad diperlukan syarat yakni baligh dengan maksud agar tidak ditipu oleh orang dan beragama Islam.[10]
 وَلاتُؤْتُوْا السّفَهَاء اَمْوَالَـكُمُ الّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا... (النساء: ٥(
Dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. an-Nisa: 5)[11]



3.      Ma’kud alaihi (uang atau barang)
                        Syarat barang yang diperjual belikan adalah sebagai berikut.[12]
1. Suci atau disucikan. Tidak sah menjual barang najis, seperti anjing, babi dan lain-lainnya.
2. Memberi manfaat menurut syara.
3. Dapat diserahkan secara cepat atau lambat.
4. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang tanpa seizin yang memiliki barang tersebut atau menjual barang yang hendak menjadi milik.
5. Diketahui atau dilihat. Tidaklah sah jual beli yang menimbulkan kerugian.
b.    Landasan Hukum Jual Beli
Landasan Syara’: Jual beli di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Yakni:[13]
a.       Berdasarkan Al-Qur’an diantaranya:
                                                                                   وَحَرَّمَ وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Artinya:
 “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqarah : 275)[14]
b.      Berdasarkan Sunnah
       Rasulullah Saw. Bersabda: 
      “Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra.: bahwasannya Nabi Saw. Ditanya: pencarian apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Ialah orang yang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih”. (H.R Al-Bazzar dan disahkan Hakim).
        Rasulullah Saw, bersabda:
Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka (saling meridhoi) (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
c.       Bardasarkan Ijma’
            Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau harta milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
c.    Jual Beli Yang Terlarang
1.      Jual Beli Yang Dilarang dan Batal Hukumnya[15]
1.      Barang yang dihukumi najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bngkai, dan khamar.
2.      Jual beli seperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina gar dapat memperoleh turunan. Jual beli seperti ini hukumnya haram.
3.      Jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya.
4.       Ba’i Muhaqalah yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah (Ijon).
5.       Ba’i Mukhadarah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen.
6.       Ba’i Muammassah  yaitu jual beli yang terjadi dengan cara hanya menyentuh suatu barang secara acak (misal: seseorang yang menyentuh sebuah produk dengan tangannya di waktu malam, maka orang yang telah menyentuh kain berarti telah membeli kain tersebut).
7.       Ba’i Munabazah yaitu jual beli secara lempar-melempar, sehingga barang tidak jelas dan tidak pasti.
8.      Ba’i Muzabanah (Barter Buah-buahan) yaitu jual beli yang menggunakan makanan yang masih belum jelas sebagai alatpembayarnya (misal : buah-buahan saat masih di atas pohon yangmasih basah/ belum bisa dimakan dijual sebagai pembayar untuk memperoleh kurma untuk dimakan).
9.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan.
10.  Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jaul beli seperti ini sama halnya dengan jual beli dengan menentukan dua harga hanya saja disini sebagai syarat.
11.  Jual beli gharar jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan, seperti ikan yang masih dikolam atau menjual kacang tanah.
12.  Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual.
13.  Larangan menjual makanan hingga dua kali takaran.
2.      Jual Beli Dilarang Tapi Sah Hukum[16]
Tapi orang yang melakukan jual beli tersebut mendapatkan dosa, jual beli tersebut antara lain:
1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga pasar, ssedangan dia tidak ingin meminginginkan hanya semata-mata supaya orang lain tidak bisa memilikinya.
2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
3.      Mencegat orang-orang yang dating dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai pasar, sewaktu mereka belum mengetahui  harga pasar
4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu.
5.       Menjual sesuatu yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
6.      Jual beli yang disertai tipuan. Berati dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli.
d.   Pengertian  Khiyar dan Macam-Macamnya[17]
1.      Khiyar yaitu “boleh memilih antara meneruskan akad jual beli atau, mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”.
2.       Macam Macam Khiyar
a)      Khiyar Majlis
Adalah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad selama masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah.
b)       Khiyar Syarat
      Khiyar syarat yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya dengan syarat tertentu
c)      Khiyar’Aib
      Khiyar ’aib yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya yang disebabkan karena adanya cacat pada barang yang dijual.
D.    ANALISIS
Dalam pendahuluan tadi sudah kami singgung masalah jual beli on-line, dari uaraian yang terdapat dalam pembahsan diatas kelompok kami menganalisis tentang hukum jual beli on-line. Kemajuan teknologi yang semakin maju menjadikan inovasi dan kreativitas terhadap sebagian manusia untuk berlomba-lomba dalam mengembangkan usahanya. Yaitu salah satunya sistem on-line. Sebagian dari mereka hanya sekedar ikut-ikutan bahkan ada yang modus penipuan namun juga ada yang tau secara detail hokum-hukum trnsaksi jual beli dalam on-line.
Dari ketiga khasus tersebut kami mengambil tiga sempel untuk menjadi bahan analis. Pertama jual beli yang hanya sekedar ikut-ikutan secara on-line ini pada dasarnya sama dengan kasus yang ketiga yaitu dismping ikut-ikutan juga tau hukum-hukumnya untuk kedua khasus ini jelas diperbolehkan dalam islam dengan syarat tidak ada penipuan dan memenuhi rukunnya, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Untuk khasus yang kedua jelas dilarang dan diharamkan karena ada unsur penipuan dalam proses transaksi jual beli. Itu berate melanggar rukun dari jual beli, sehingga trnsaksinya menjadi tidak syah.
Jadi sistem jual beli on-line dalam konteks hukum islam diperbolehkan apabila dalam sistem jual beli ini tidak mengandung unsur penipuan, barang yang dijual sesuai dengan informasi yang telah ada pada website yang disediakan oleh penjual. Dan sistem jual beli online ini sama dengan sitem jual beli salam karena sudah memenuhi syarat dan rukun dalam jual beli salam yaitu barang hanya dilihat dan disebut ciri-cirinya saja, serta sama ada yang bertanggung jawab atas barang yang dijual, adanya ketentuan harga yang telah disepakati dengan uang muka terlebih dahulu sebelum menerima barang.
E.     Kesimpulan :
1.      Jual-beli yakni menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.      Hukum dasar dari jual beli itu diperbolehkan.
3.      Jual beli dilarang karena menimbulkan mudzorat/ kerugian dari salah satu pihak.

Daftar Pustaka
Imam Al-Hafidh. 2008. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam.Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah.
Suhendi Hendi.2007. Fiqih Muamalah.Jalarta: Raja Grafindo Persada.
Ibnu , Zaenal.2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia.
Mahfud Sahal.2004. Sholusi Aktual Hukum Islam Rois ‘Amsyuriah PBNU Ahkamul Fiqiyah.Surbaya: Dintama.
Azzam Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah.
Rasjid Sulaiman. 2011. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Abu Abdillah Syeik Syamsuddin. 1983. Terjemahan Fathul Qorib: Menara  Kudus.




[1] Ibnu , Zaenal, Fiqih Madzhab Syafi’i. Pustaka Setia. Bandung.2007.hlm.19
[2]  Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. hlm. 47
[3]  Anggota IKAPI, Al-Qur’an dan Terjemah, J-ART, Bandung. 2004. hlm.437
[4]  Ibnu , Zaenal. Op.Cit.  hlm.22
[5]  Ibid,. hlm.22
[6]  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesnsindo. Bandung.2011. hlm.278
[7]  Fiqih al- Sunaah, hlm.126
[8]  Hendi, Op. Cit. hlm.70
[9] Ibnu , Zaena. Op. Cit. hlm. 26
[10]  Ibid. hlm.28
[11] Anggota IKAPI, Op. Cit. hlm.77
[12]  Ibid. hlm.29-32
[13] Ibnu , Zaenal Op Cit. hlm.21
[14] Anggota IKAPI, Op. Cit. hlm.47
[15]  Hendi Suhendi, Op Cit. hlm.78-84
[16]  Ibid.hlm. 284-285
[17]  Sulaiman Rasjid, Op cit. hlm. 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar